HADRATUSSYAIKH ULAMA PEDULI UMAT DAN BANGSA
Hadratussya Muhammad Hasyim Asy'ari
yang akrab dipanggil Kiai Hasyim adalah
sosok ulama yang paling banyak diperbincangkan dalam dua abad terakhir. la merepresentasikan karakter ulama yang khas Indonesia. Selain sebagai sosok yang mempunyai kecerdasan intelektual, ia juga seorang of
ganisatoris, pendidik, bahkan warga masyarakat yang mempunyai etos kerja dan asketisisme yang tinggi.
Tidak hanya itu, kelahiran Nahdlatul Ulama dalam konteks Islam Indonesia telah menjadikan Kiai Hasyim
tidak hanya dikenal di Tanah Air, tetapi juga menarik perhatian banyak kalangan. James J. Fox (1999), an-
tropolog dari Australian National University, menyebutnya sebagai salah satu wali yang sangat berpengaruh di
Jawa karena mempunyai kedalaman ilmu dan diyakini membawa berkah bagi pengikutnya. Selain itu juga Kiai Hasyim sebagai sosok yang istimewa serta mempunya hubungan keluarga dengan para kiai di Jawa dan Prabu Brawijaya.
Di samping itu, satu hal yang patut dicatat dari keteladanan Kiai Hasyim, ia seorang ulama yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap umat dan bangsa yang majemuk. Sebagai seorang ulama, sudah tentu ia mempunyai kepedulian terhadap umat. Sebab, ulama bukanlah identitas yang terisolasi dengan realitas sosial. Ulama adalah pemimpin umat, perannya melakukan pencerahan dan pemberdayaan umat.
Sebagai seorang warga negara, ia merupakan simbol dari ulama yang nasionalis, yang hidupnya dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Peran Kiai Hasyim dalam kemerdekaan tidaklah diragukan. Sejarah mencatat, ia berjibaku melawan penjajah dan tak mau bertekuk lutut pada kehendak mereka. Tidak hanya itu. ia turut membangun bangsa ini melalui pendidikan keagamaan yang memperkukuh semangat kebangsaan dan kemajuan.
K.H. Said Aqil Siradj (2008) memberikan sebuah komentar yang menarik perihal keberagamaan Kiai Hasyim. Meskipun belajar di Mekkah, yang dikenal menganut paham Wahabi, Kiai Hasyim tidak serta-merta menjadi sepeti kalangan Wahabi yang dikenal puritan dan menolak berbagai tradisi lokal. Bahkan, ia menjadi seorang kiai yang secara tegas menolak paham Wahabi dan memberikan penjelasan yang lebih elaboratif, khususnya dalam memahami heterodoksi dalam agama (bid'ah), sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama'ah: fii hadiitsil mautaa wa asyraathis saa'ah wa bayaa mafhuumis Sunnah wal bid'ah.
Dalam hal ini, Kiai Hasyim dengan tegas membuktikan distingsl dengan kalangan modernis, yang relatif dulunya dikenal lebih puritan dalam memahami para-digma bid'ah. Meskipun demikian, ia meminta agar perbedaan tersebut tidak memupuk perpecahan di tengah-tengah umat. Perbedaan harus dilihat sebagai rahmat Tuhan. Dan, perbedaan merupakan hal yang sudah niscaya dalam khazanah Islam.
Dalam hal ini, Kiai Hasyim merupakan salah satu karakter dari ulama Jawa yang mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas Indonesia. MC. Ricklefs dalamPolarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (18304 930) menyebutkan, setidaknya ada tiga corak keberislaman di Jawa.
Pertama, corak keberislaman yang memanifestasikan identitas keislaman yang sangat kuat. Misalnya, Sultan Mangkubumi di Yogyakarta adalah seorang raja Jawa yang sejak muda ditempa dengan pendidikan keagamaan yang ketat, seperti pembelajaran tentang asketisisme dan menghafal Al Quran. Begitu pula Pangeran Mangkunagara I. ia adalah seorang yang saleh dan taat beragama. Pangeran Mangkunagara I dikisahkan sebagai seorang yang rajin melaksanakan shalat Jumat, mengajar masyarakat cara melaksanakan shalat yang baik, serta suka melakukan khataman Al Quran dengan kalangan santri.
Kedua. corak keberislaman yangmenyintesiskan mistisisme dengan ajaran Islam yang fundamental, seperti rukun Islam. Dalam hal ini. meskipun meyakini mistisisme sebagai sebuah kebudayaan pada zaman itu, mereka tidak meninggaikan rukun Islam yang lima. Hal itu dapat ditemukan dalam Serat Wulangreh yang menggabungkan mistisisme dan rukun islam.
Ketiga, corak keberislaman yang mengakomodasi kekuatan spiritual lokal. Dalam hal ini, nilai-nilai keislaman tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai kearifan lokal, bahkan justru dilakukan interaksi dan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Mangkunagara I tidak hanya seorang yang taat dan saleh, tetapi juga mempunyai hubungan khusus dengan Sunan Lawu dan mempunyai kepercayaan yang sama tentang Ratu Kidul.
Gambaran keberagamaan masyarakat Jawa seperti ini mempunyal nilai plus karena memungkinkan seleksi kultural dari paham paham transnasional yang menganut paham dan sikap keberagamaan yang hanya bersifat hitam putih. Faktanya, akeberagamaan kalangan pesantren yang merupakan mayoritas cenderung menolak dan menentang keras paham transnasional tersebut karena tidak sesuai dengan kearifan lokal.
Penulis masih ingat bagaimana seseorang yang baru pulang dari Arab Saudi setelah sekian lama menuntut ilmu di sana. Sesampai di tengah-tengah masyarakat, orang tersebut langsung melakukan gebrakan dengan cara mengharamkan segala praktik yang dilakukan oleh masyarakat, seperti tahlil, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan praktik jual-beli di pasar desa. Sontak dakwahnya ditolak masyarakat yang memilih berafiliasi dengan kiai kampung yang relatif hanya jebolan pesantren. Menurut penuturan sebagian masyarakat, beragama dengan paham orang tersebut sepertinya berada dalam ancaman terus menerus karena seolah-olah tugas agama hanya mengharamkan sesuatu. Padahal, dalam Al Quran disebutkan, Islam adalah agama yang memberikan petunjuk dan membimbing umat dalam kebajikan dan kesabaran. Jadi, kalau dalam beragama isinya hanya soal haram dan bid'ah, hal itu akan sangat menakutkan bagi pemeluknya.
Untungnya, orang tersebut dalam beberapa tahun terakhir melakukan adaptasi dengan tradisi keagamaan yang dianut oleh masyarakat sehingga lambat laun ia bisa diterima meskipun dalam beberapa hal masyarakat masih belum seutuhnya menerima karena ia dianggap terlalu kaku dalam memahami dan menerapkan paham keagamaan.
Inilah salah satu keunikan dan keistimewaan corak keislaman yang berkembang di Tanah Air karena transmisi keagamaan tidak hanya bersifat top down atau, meminjam istilah Adonis, terdiri atas sesuatu yang sudah tetap, pakem, dan tidak bisa diutak-atik (al-tsaabit). Transmisi dan komunikasi keagamaan secara nyata telah berlangsung secara bottom up,yang menurut Adonis bersifat dinamis dan interaktif (al-mutahawwil).
Konteks sosial seperti ini telah mampu melahirkan seorang sosok ulama yang paripurna, yang tidak mewarisi paham keagamaan yang bertentangan dengan nilainilai kearifan lokal, kebangsaan, dan keadaban. Sosok tersebut adalah Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, yang secara konsisten menjadi ahli waris para Nabi, terutama dalam hal melanggengkan misiuswatun hasanah (teladan adiluhung), sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Di dalam berbagai tulisannya, Kiai Hasyim sangat menitikberatkan perihal pentingnya ulama sebagai sosok yang harus melestarikan nilai-nilai profetik, asketisisme, dan intelektualisme. Yang terpenting, karakter seorang ulama adalah senantiasa takut kepada Allah SWT karena setiap tindakannya akan menjadi panutan bagi pengikut dan masyarakat pada umumnya.
Sumber referensi (catatan kaki):
Misrawi Zuhairi, HADRATUSSYAIKH HASYIM ASY'ARI MODERASI, KEUMATAN, DAN KEBANGSAAN, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara), hlm. 27-34